Apoteker Maya – Aku, seorang apoteker klinis yang menghabiskan tujuh jam dalam sehari untuk pasien : menganalisa terapi, melakukan rekonsiliasi, dan mengedukasi. Namun juga seringnya dibenturkan pada berbagai dinamika hidup mereka yang kadang membuatku menganalisa lebih.
Dari balik lensa cekung ini, aku mencoba memaknai bayangan-bayangan kehidupan yang datang silih berganti.
***
Pada suatu hari yang melelahkan, aku mengetuk pintu kamarnya cukup pelan. Mengucap salam. Terlihat ia tengah tidur dalam pelukan manusia kuat bernama Ibu. Manusia kuat itu tersenyum kepadaku sembari merapikan pakaiannya. Canggung.
Aku menyapa ramah. Memperkenalkan diriku dan apa tujuanku ‘bertamu’ ke kamarnya. Ibu itu terlihat antusias.
Sekilas, kulihat pasienku itu memang tengah tertidur pulas. Nafasnya naik turun dengan cepat. Tangan kanannya berbalut perban putih, tersambung dengan selang panjang infus. Oh, Dik! Anak usia satu tahun sepertimu harus kuat menopang diagnosa radang paru-paru…
Aku melakukan pekerjaanku seperti biasa, tak ada yang spesial pada visite kali itu. Kepada si Ibu, kujelaskan semua terkait obat-obatan yang diterima anak tercintanya itu, semuanya berjalan lancar… sampai ketika aku menyampaikan saran untuk terapi non-farmakologi, suara si Ibu tiba-tiba berubah bergetar. Air matanya berusaha keras untuk menerobos keluar.
Aku mengambil jeda, membiarkan si Ibu tenggelam dalam perasaannya, menunggu kata-kata yang hendak ia muntahkan kepadaku, entah apakah juga bercampur amarah.
Si Ibu masih sesenggukan. Aku masih belum mengganti mode ‘diam tanpa kata’ku. Tunggu, apa yang terjadi? Seingatku, kata-kata terakhir yang kuucap barusan hanya “jika sudah pulang dari rumah sakit, lebih baik menghindarkan anak ibu dari hal-hal yang dapat memicu batuk, seperti asap, terutama asap rokok…”
“Suami saya perokok berat, Mbak…,” katanya kemudian. Ia menyeka sebutir air matanya.
“Saya sudah sering memintanya untuk tidak merokok di rumah, sudah dengan berbagai cara… mulai dari yang halus sampai kasar sekalipun, tetap tidak digubris.”
“Saya bingung harus bagaimana… dia seakan sudah tidak peduli dengan anaknya…”
Bahunya kembali terguncang, tangan kananya reflek menutup mulutnya, kedua matanya mengerut, seakan mencoba menahan berkilo-kilo newton amarahnya. Lagi-lagi, hanya air mata yang sanggup ia utarakan.
“Saya bahkan pergi ke rumah sakit sendirian, dia tidak sama sekali peduli dengan anaknya yang batuk-batuk terus setiap hari. Ya Allah, saya rasanya ingin pisah, Mbak!”
Tak kusangka aku terjebak pada suasana yang membingungkan. Percampuran antara rasa simpati dan canggung, akhirnya ku’ekstraksi’ menjadi sebatas tindakan profesional.
“Yang sabar ya, Bu. Semoga ibu tetap kuat karena anak ibu membutuhkan ibu yang kuat seperti ibu…”
Setelah berbincang seperlunya tentang kondisi anaknya, aku memutuskan untuk mengakhiri visite kali itu. Si Ibu berulangkali menyampaikan rasa terima kasihnya. Oh, Ibu! Justru aku yang harus berterima kasih karena kau telah membagi kisahmu tentang harga sebuah paru-paru, yaitu dengan meruntuhkan benteng yang kukuh bernama ego.