Apoteker Maya – Aku, seorang apoteker klinis yang menghabiskan tujuh jam dalam sehari untuk pasien : menganalisa terapi, melakukan rekonsiliasi, dan mengedukasi. Namun juga seringnya dibenturkan pada berbagai dinamika hidup mereka yang kadang membuatku menganalisa lebih.
Dari balik lensa cekung ini, aku mencoba memaknai bayangan-bayangan kehidupan yang datang silih berganti.
***
Ruangan isolasi, untuk memasukinya aku harus menggunakan masker sebagai alat pelindung diri. Jujur saja, cukup berat melangkahkan kaki ke sana, kenapa?
Di sana, aku harus menyaksikan orang-orang yang kesulitan bernapas karena mereka harus melawan bakteri jahat bernama Mycobacterium tuberculosis. Hampir bisa dipastikan, selang oksigen adalah kebutuhan wajib di ruang tersebut.
Seperti ibu ini. Dia terbaring di bed-nya, tersenyum menyambut kedatanganku.
Aku menanyakan perkembangannya hari ini. Kulihat dia tengah menggenggam tasbih elektroniknya. Dia menjawab jika sesak napasnya sudah berkurang.
Aku kembali menekuri dokumen rekam medik miliknya. Disana, hasil pemeriksaan foto thorax menunjukkan adanya KP Duplex.
Pada lembar rekonsiliasi obat, aku mencentang riwayat penyakit kanker. Yah, ibu itu bercerita jika dia adalah breast cancer survivor selama sepuluh tahun yang kerap bolak-balik POSA RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Sudah sekian kali melakukan kemoterapi dan sinar radiasi.
“Saya rutin mengonsumsi ini mbak. Dari dokter di POSA,” ungkapnya sembari memberiku sekantong obat. Isinya, sebuah antagonis hormon merk tertentu dengan aturan 1 x 1 tablet malam hari, serta vitamin B1 dan vitamin B6 dengan aturan yang sama.
“Saya ini guru, Mbak. Saya ingin sembuh untuk murid-murid saya. Kata dokter di POSA, kanker saya sudah tinggal dikit lagi menuju sembuh. Alhamdulillah, obatnya tidak pernah absen saya minum,” lanjutnya kembali tersenyum.
Aku meminta izin untuk mengambil obat yang dibawa tersebut untuk kulaporkan ke DPJPnya. Bagaimanapun, obat tersebut harus dilanjutkan, namun ada beberapa hal yang perlu diwaspadai karena ibu ini juga mendapat OAT (obat anti TBC) dari rumah sakit ini.
DPJP menyampaikan kepadaku untuk melanjutkan riwayat terapi tersebut. Akupun kembali melangkah ke ruang isolasi untuk memberikan beberapa edukasi terkait obat.
“Ibu, ini obat kankernya, sudah saya konfirmasikan ke DPJPnya dan memang harus dilanjutkan. Jadi, Ibu harus tetap meminumnya, selain minum obat dari rumah sakit ini…”
“Oh iya, kan kata ibu, bulan ini waktunya kontrol ke POSA ya? Nanti tolong bilang ke DPJP ibu di sana ya kalau ibu mendapat tambahan obat dari rumah sakit ini…”
Ibu itu tersenyum. “Iya, Mbak. Kontrol selanjutnya nanti saya akan bawa semua obat saya.”
Setelah memastikan si Ibu memahami semua penjelasanku, akupun pamit untuk menyudahi visite ku.
***
Seorang perawat terlihat terburu-buru memasuki apotek. Hari itu masih pukul tujuh pagi, aku baru saja datang. Dia meminta beberapa sediaan injeksi dan selang pernapasan, atas perintah DPJP pasien ruang isolasi.
“Kondisinya jelek,” jawabnya ketika kutanya ada apa.
Saat aku ke ruangan, kudengar pasien ruang isolasi sudah membaik dari sesak napasnya.
“Paru-parunya sudah seperti itu. Bisa jadi sudah metastase kankernya,” kata seorang perawat senior. Besoknya, yang kutahu, pasien ruang isolasi itu sudah dipindah ke HCU karena kondisinya yang semakin memburuk.
***
Manusia hanya bisa berencana, tapi Allah lah yang menentukan. Umur manusia tiada yang tahu. Innalillahi wainna ilahi rojiun. Ibu guru telah menyerah pada penyakitnya.
Hari itu, aku merasa kehilangan atas kepergian seseorang yang padahal belum kukenal dengan baik. Namun atas respon baik si Ibu guru terhadap tenaga kesehatan yang menanganinya, aku bisikkan sebait doa, semoga Allah menerima segala amal ibadahnya dan mengampuni segala kesalahannya selama hidup di dunia. Aamiin.
Dari Ibu guru breast cancer survivor aku belajar untuk mensyukuri detik demi detik waktu yang berlalu, untuk terus berjuang pada segala keterbatasan.