Apoteker Maya – Aku, seorang apoteker klinis yang menghabiskan tujuh jam dalam sehari untuk pasien : menganalisa terapi, melakukan rekonsiliasi dan mengedukasi. Namun juga seringnya dibenturkan pada berbagai dinamika hidup mereka yang kadang membuatku menganalisa lebih.
Dari balik lensa cekung ini, aku mencoba memaknai bayangan-bayangan kehidupan yang datang silih berganti.
***
Nurse station mendadak menjelma seperti kapal pecah. Siang itu, ruangan rawat inap di lantai 3 menerima lima pasien baru. Bergantian, perawat IGD melakukan transfer pasien dengan diagnosa yang variatif. Rata-rata pasien demam tifoid dan DM hiperglikemi. Tunggu, ada satu diagnosa yang cukup familiar bagiku.
Pasien baru, kami menyebutnya OB (Orang Baru), artinya adalah tambahan pekerjaan baru untuk kami, para petugas di unit rawat inap. Dokter, perawat, ahli gizi, apoteker, hingga petugas cleaning service, masing-masing bersiap mengerjakan tugas masing-masing.
“Sisa berapa pasien lagi yang rencana naik ke rawat inap?” tanya perawat Putri kepada seorang perawat IGD bernama Haidar. Mereka sedang melakukan hand over. Haidar yang baru membalik lembar pertama Dokumen Rekam Medis, tersenyum getir.
“Udah naik semua kok. Aman. Kasihan itu mbak apotekernya kerja sendirian. Kewalahan dia,” jawabnya singkat. Sambil tertawa usil, Putri dan Haidar beralih memandangku yang tengah serius membaca DRM seorang pasien hiperglikemi. Aku tersenyum sesaat.
“Iya nih, banyak ya OB nya, Kak. Luar biasa kerja kita hari ini. Pasien lantai 3 full bed terus!” jawabku sembari menulis rencana asuhan kefarmasian.
Kutinggalkan fokusku dari dialog mereka berdua. Keriuhan nurse station siang itu membuatku mengatur strategi agar pekerjaanku hari itu bisa selesai tepat waktu. Setidaknya jika itu mustahil, overtime beberapa menit saja sudah cukup.
Perawat datang dan pergi silih berganti. Selain menulis tindakan keperawatan dan rencana asuhan di DRM, mereka dengan sigap menjawab panggilan bel pasien. Biasanya pasien meminta tolong untuk mengganti botol infus yang sudah habis atau menyuntikkan obat saat jadwal injeksi. Selain itu, perawat harus melakukan rawat luka, menjadi asisten saat visitasi dokter, mengambil obat atau alkes di farmasi, dan masih banyak lagi. Bisa kubilang, mereka garda terdepan yang berjiwa mulia.
Aku sering terjebak pada situasi riuh semacam ini. DRM pasien adalah hal krusial yang kami ‘rebutkan’. Saat itu, RS masih mengembangkan E-RM, belum diaplikasikan.
DRM sedang digunakan semua. Hanya ada satu DRM yang tergeletak di meja.
“Permisi, Kak! Maya izin pinjam DRM ini untuk visite pasien ya!” pintaku pada Kak Sari, Kepala ruang yang sudah kuanggap kakakku sendiri. Dia perawat yang pintar dan baik.
“Boleh sih, Kak! Tapi tolong jangan jauh-jauh ya. Soalnya kondisi pasien masih dalam pemantauan ketat. Rencana pindah ICU, tapi tunggu visite dokter cardio sejam lagi. Advice cardio sudah kami laksanakan semua,” jawab Kak Sari.
Aku membaca diagnosa pasien itu sejenak. Pasien yang diagnosanya familiar bagiku.
“PPCM??? Kak Sar, ini pasien post SC, MRS sekitar tiga bulan yang lalu nggak sih?” tanyaku. Kak Sari yang saat itu tengah sibuk sempat diam sejenak. Terlihat berusaha mengingat, lalu mengangguk.
“Ya Allah… MRS lagi, Kak?” ulangku, memastikan.
Aku bergegas mempelajari DRM pasien untuk membuat rencana asuhan kefarmasian dan visite ke ruangan.
***
Tiga bulan sebelumnya
Bu Zahra, usianya sepantaran denganku, ibu muda yang tengah berbahagia menyambut kelahiran buah hatinya itu ternyata harus menunda jadwal kepulangannya. Bayinya sehat, sudah diperbolehkan pulang. Tetapi, Bu Zahra malah harus dirawat lebih lama lantaran dokter kandungan yang membantu proses persalinannya menduga ada komplikasi yang tak biasa. PPCM.
Peripartum cardiomyopathy (PPCM) adalah penyebab utama gagal jantung selama kehamilan. Kelainan otot jantung idiopatik yang terjadi pada waktu akhir trimester tiga kehamilan sampai 5 bulan kelahiran. Menurut Kemenkes, penyebabnya masih belum diketahui secara pasti. Dugaannya, terkait genetik, preeklampsia, status sosial ekonomi, dan riwayat kanker adalah penyebabnya.
Bu Zahra mengalami sesak hebat setelah proses SC selesai. Setelah ditelusuri, sesak itu memang sering dirasakan saat hamil. Menurut dokter kandungannya, ibu hamil terkadang menganggap sesak saat hamil menjadi hal biasa. Padahal, bisa jadi hal itu adalah tanda awal adanya komplikasi. Berbahaya.
Aku masih ingat bagaimana Bu Zahra berbahagia menjadi ibu baru. Meskipun dia harus terbaring di ranjang rumah sakit, ia sangat antusias menyaksikan putrinya lewat layar smartphonenya. Saat itu, aku melakukan visite untuk menjelaskan obat yang resepnya baru kuterima.
Bromocriptin. Dalam kasus PPCM, obat digunakan untuk menekanan produksi prolaktin oleh agonis reseptor dopamin D2. Ada sebuah fragmen prolaktin yang bersifat angiostastik dan proapoptotik, artinya dapat merusak endotelium dan jaringan jantung. Fragmen ini diduga dapat memicu terjadinya PPCM.
Sedangkan prolaktin sangat dibutuhkan pada proses pembentukan ASI. Jika bromocriptin ini digunakan, maka Bu Zahra harus ikhlas untuk tidak memberikan ASI kepada bayinya karena produksi ASI sengaja dihentikan.
Tak kusangka, ibu muda itu menangis saat mendengar penjelasanku.
“Tidak ada cara lain kah, Bu?” suaminya berusaha menenangkan istrinya yang terguncang.
“Saya kira tadi dokter spesialis jantung sudah menjelaskan banyak hal terkait sakitnya ibu, nggih?” Aku berusaha membangkitkan memori keluarga tentang penjelasan dokter yang lebih menyeluruh, terkait kemungkinan-kemungkinan yang ada.
“Sudah, Bu. Tapi… istri saya bercita-cita ingin memberikan ASI eksklusif untuk buah hati kami…” suami bu Zahra tertunduk lesu. Mengelus bahu istrinya yang terguncang kala menahan tangis.
“Bu Zahra, saya coba memahami kesedihan yang ibu rasakan. Meskipun saya belum pernah merasakan menjadi seorang ibu, namun saya yakin semua ibu pasti ingin memberikan hal terbaik untuk anaknya. Begitupun Bu Zahra… namun, saat ini, adik bayi butuh kehadiran ibunya untuk mendekapnya dengan cinta, untuk menjaganya dan memberikan rasa aman untuknya…” Aku menghela napas panjang.
“Adik bayi pasti tetap mencintai ibunya, meskipun dia tidak minum ASI dari ibu. Tolong, tetap semangat untuk sembuh, Bu… untuk adik bayi. Ibu nggak sendiri, ada banyak keluarga ibu yang mendoakan kesembuhan ibu. Bismillah, Bu Zahra pasti sembuh ya. Salah satu ikhtiarnya dengan minum obat yang diresepkan dokter…”
Hening. Ruangan rawat inap itu seolah mengamini apa yang kusampaikan.
Begitulah sekelumit potongan kejadian yang akan selalu kukenang.
***
Belum sempat pintu kamar itu kuketuk, sekelompok perawat berlari menuju ke arahku. Ketegangan menguar dari ekspresi kepanikan mereka. Dibelakang mereka, dokter Dita, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, tak kalah tegangnya.
“Kak, boleh pinjam DRM pasien Zahra? Dokter Dita visite. Kondisi pasien menurun…,” pinta Kak Putri. Tanpa ba-bi-bu, kuserahkan DRM yang kupegang kepadanya.
Aku ikut masuk ruangan Bu Zahra. Layar monitor menunjukkan tekanan darah dan saturasi oksigennya turun tajam, sementara nadinya melonjak naik. Laju napasnya diangka 30 kali/menit. Gerakan napas cepat, naik-turun seolah berjuang mencari jalan untuk bernapas. Sesak hebat.
“Hubungi ICU untuk transfer darurat pasien. Code blue. Saya RJP dulu beberapa siklus!!!” Dokter Dita langsung mengomandokan para perawat untuk bertindak. Situasi hidup dan mati itu sangat mendebarkan. Sementara, keluarga menangis sesenggukan, saling bersahutan.
RJP dokter Dita berhasil. Layar monitor kembali menunjukkan angka stabil. Tanpa menunggu lama, pasien langsung ditransfer menuju ICU. Sirine code blue masing meraung-raung.
Di ICU, dokter cardio berdiskusi sebentar dengan dokter anestesi, untuk kemungkinan melakukan prosedur intubasi. Perawat ICU bergegas membuka box emergency. Sayangnya, ETT yang dibutuhkan berbeda nomer dengan yang tersedia di box emergency.
Adegan ini terjadi dalam tempo super cepat. Aku menyaksikan betapa perawat sangat kejar-kejaran dengan waktu, sementara Bu Zahra kondisinya sudah sangat kritis.
“Tunggu, biar kuambilkan di farmasi!!!” Tanpa menunggu persetujuan siapapun, aku berlari ke depo farmasi yang letaknya tidak terlalu jauh.
Dalam bayanganku, waktu yang kugunakan untuk berlari saat itu adalah kesempatan Bu Zahra untuk bernapas lebih lama. Untuk Bayinya!
Aku tiba di ICU lagi, tepat setelah dokter anestesi selesai melakukan prosedur awal. ETT yang kuserahkan segera digunakan untuk prosedur selanjutnya. Dokter Dita terus mengamati angka-angka pada monitor. Tak kusangka, energi yang kugunakan untuk lari cukup besar, hingga yang tersisa hanya residunya. Ngos-ngosan.
Setelah prosedur intubasi selesai, perawat memanggil keluarganya untuk mendengar penjelasan dari dokter Dita dan dokter anestesi. Suami Bu Zahra nampak sangat terpukul dengan apa yang dialami barusan. Terlebih saat dokter menjelaskan, meskipun Bu Zahra sudah dipasang alat bantu napas, tapi pasien belum melewati masa kritisnya… dan kemungkinan terburuknya adalah kematian.
“Saya boleh izin membisikkan kalimat syahadat ke istri saya?” pintanya. Dokter mengizinkan.
Suami Bu Zahra mendekati wajah istrinya itu. Bu Zahra masih dalam pengaruh obat bius midazolam dan Atracurium besylate, namun air matanya mengalir deras kala mendengar suaminya menuntun kalimat syahadat.
Adegan itu berlangsung sangat singkat, hingga layar monitor mendadak menunjukkan garis lurus. Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Manusia hanya bisa berdoa dan berikhtiar, namun Allah yang menentukan takdir terbaik untuk hamba-Nya.
***
Catatan : Semua nama yang terlibat telah disamarkan