Apoteker Maya – Tak dipungkiri, dunia kefarmasian terus mengalami perkembangan. Telah dilakukan berbagai pemutakhiran untuk membuat obat semakin bermutu, berkhasiat, dan aman. Termasuk pada obat bahan alam atau obat tradisional.
Tahukah kamu jika obat bahan alam dibedakan menjadi tiga jenis, yang masing-masing memiliki kriteria yang berbeda? Lantas, mana yang lebih efektif?
Pengertian Obat Bahan Alam
Menurut PerBPOM No. 29 tahun 2023, obat bahan alam adalah bahan, ramuan bahan, atau produk yang berasal dari sumber daya alam berupa tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau bahan lain dari sumber daya alam, atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun temurun, atau sudah dibuktikan berkhasiat, aman, dan bermutu, digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan kesehatan berdasarkan pembuktian secara empiris dan/ atau ilmiah.
Alasan penggunaan obat bahan alam atau dikenal dengan obat tradisional beragam, mulai dari harganya yang dianggap lebih terjangkau, untuk menghindari efek samping obat konvensional (karena adanya anggapan bahan alami bersifat lebih aman), atau berkaitan dengan gaya hidup.
Klasifikasi Obat Bahan Alam
Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat tradisional digolongkan menjadi jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT), dan fitofarmaka.
Jamu
Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang banyak digemari oleh Masyarakat. Selain karena merupakan warisan budaya Indonesia, minum jamu dipercaya dapat membantu meningkatkan kesehatan tubuh. Tak hanya dikonsumsi oleh masyarakat pedesaan, konsumsi jamu juga tengah menjadi tren atau gaya hidup baru bagi masyarakat perkotaan. Didukung dengan inovasi yang mengikuti perkembangan, seperti inovasi pada tempat minum jamu dan adanya saintifikasi jamu, sehingga meningkatkan kebanggaan masyarakat untuk mengonsumsi jamu.
Logo

Logo jamu berupa “ranting daun terletak dalam lingkaran”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur.
Kriteria
- Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan;
- Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris;
- Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Klaim jamu tidak boleh menggunakan istilah farmakologis, seperti contohnya “mengobati hipertensi”. Klaim jamu yang dibolehkan menggunakan kata-kata seperti “Secara tradisional digunakan untuk…”, atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran.
Contoh
Beberapa obat atau suplemen yang tergolong jamu adalah Curcuma FCT, Vipalbumin, Tolak Angin Flu, Komix Herbal, HerbaKof, Asimor, HerbaVOMITZ, Tensifit, dan Memodex.
Obat Herbal Terstandar
Pengertian
Obat Herbal Terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji preklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi.
Logo

Logo berupa ”jari-jari daun (3 pasang) terletak dalam lingkaran”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur.
Kriteria
- Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik
- Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
- Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.
Contoh
Berikut ini yang termasuk obat atau suplemen tergolong Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah Kiranti, Antangin JRG, Tolak Angin, Mastin, Lelap, Bodrex Herbal, Diapet, Psidii, dan CHANNA 500 mg
Fitofarmaka
Pengertian
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji preklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. Fitofarmaka dapat disejajarkan dengan obat modern.
Manfaat dilakukan uji praklinik dan uji klinik pada sediaan fitofarmaka adalah sebagai jaminan mutu bahwa produk fitofarmaka telah terbukti memiliki khasiat aktif atau efek terapetik.
Logo

Logo berupa “jari-jari daun (yang kemudian membentuk bintang) terletak dalam lingkaran”, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah/ pembungkus/ brosur.
Kriteria
- Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
- Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik
- Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi
- Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
Jenis klaim penggunaan sesuai dengan tingkat pembuktian medium dan tinggi.
Contoh
X-Gra 150 mg, Rheumaneer 500 mg, Tensigard, Stimuno, Vipalbumin sachet
Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah tabel perbedaan dari ketiganya.
Klasifikasi | Kriteria (Pembeda) | Tingkat Pembuktian | Klaim | Contoh |
Jamu | Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris | Umum hingga medium | “Secara tradisional digunakan untuk…”, atau sesuai dengan yang disetujui pada pendaftaran. | Curcuma FCT, Vipalbumin, Tolak Angin Flu, Komix Herbal, HerbaKof, Asimor, HerbaVOMITZ, Tensifit, Memodex |
Obat Herbal Terstandar | Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi | Umum hingga medium | Sesuai dengan tingkat pembuktian | Kiranti, Antangin JRG, Tolak Angin, Mastin, Lelap, Bodrex Herbal, Diapet, Psidii, CHANNA 500 mg |
Fitofarmaka | Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/ pra klinik Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi | Medium hingga tinggi | Sesuai dengan tingkat pembuktian | X-Gra 150 mg, Rheumaneer 500 mg, Tensigard, Stimuno, Vipalbumin sachet |
Contoh Perbedaan Produk Jamu dan Fitofarmaka


Terdapat perbedaan logo pada kedua obat tersebut, yakni Vipalbumin kapsul termasuk “Jamu” sedangkan Vipalbumin sachet termasuk “Fitofarmaka”. Selain itu, nomer izin edar BPOM keduanya menunjukkan perbedaan. Vipalbumin kapsul berkode “TR” artinya obat tradisional lokal, sedangkan Vipalbumin sachet berkode “FF” artinya fitofarmaka.
Selain itu, terdapat perbedaan klaim dari keduanya. Vipalbumin kapsul hanya mengklaim khasiat “membantu memelihara kesehatan dengan menambah zat gizi”, tidak ada klaim farmakologis. Sementara itu, Vipalbumin sachet mengklaim khasiat “membantu meningkatkan kadar albumin pada kondisi hipoalbuminemia”, karena telah dilakukan uji klinis pada dosis yang digunakan.


Persyaratan Kemanan dan Mutu
Menurut peraturan BPOM No. 29 tahun 2023 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Bahan Alam, adalah untuk bahan baku dan produk jadi.
Persyaratan tersebut tercantum dalam Farmakope Herbal Indonesia atau Materia Medika Indonesia yang diterbitkan oleh Menteri Kesehatan, berupa parameter uji, yaitu :
- organoleptik
- kadar air
- cemaran mikroba
- aflatoksin total
- cemaran logam berat
- Bahan tambahan (pengawet, pewarna, pemanis, bahan kimia obat)
- keseragaman bobot
- waktu hancur
- volume terpindahkan;
- penentuan kadar alkohol
Standarisasi Bahan Baku
Telah diketahui sebelumnya, salah satu perbedaan jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka adalah harus dilakukan standarisasi bahan baku pada OHT dan Fitofarmaka, sedangkan pada jamu tidak perlu.
Bahan Baku adalah semua bahan awal baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang berubah maupun tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan Obat Tradisional. Bahan baku yang dilakukan standarisasi adalah simplisia dan ekstrak.
Tujuan standarisasi selain menjamin keamanan, khasiat dan mutu adalah untuk menyeragamkan komposisi kandungan senyawa aktif (jenis dan kadar), keseragaman dosis, meningkatkan nilai ekonomi, dan mencegah pemalsuan produk obat bahan alam.
Pentingnya dilakukan standarisasi bahan baku karena kandungan kimia tumbuhan obat sangat bervariasi. Kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai standar adalah kandungan kimia berkhasiat, atau kandungan kimia sebagai petanda (marker) atau memiliki sidik jari (finger fingerprint) pada kromatogram.
Standarisasi bahan baku berupa uji kandungan senyawa penanda atau golongan. Pada prinsipnya, standarisasi dapat didasarkan atas senyawa aktif, kelompok senyawa aktif, atau senyawa karakter (jika senyawa aktif belum diketahui dengan pasti). Contoh, senyawa kuersetin pada jambu biji untuk meningkatkan trombosit.
Teknik dalam standardisasi yaitu metode organoleptik, botanical (makroskopis dan mikroskopis), fisika, kimia serta biologi. Pemeriksaan organoleptik berupa pengamatan terhadap bentuk, warna, bau dan rasa. Pemeriksaan makroskopis dengan pengamatan tekstur dan organoleptik simplisia dan ekstrak, sedangkan pemeriksaan mikroskopis yaitu pengamatan dengan membuat penampang melintang kemudian diamati di bawah mikroskop.
Uji Preklinik
Setelah dilakukan standarisasi bahan baku, tahap uji preklinis merupakan persyaratan yang harus dilakukan pada produk jadi Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.
Hasil dari uji ini diperoleh informasi tentang efek farmakologi, farmakokinetik, farmakodinamik untuk memprediksi efek pada manusia, toksisitas dan keamanan, pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi secara in vitro dan pengujian pada hewan secara in vivo. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia.
Terdapat tiga jenis uji toksisitas, yaitu uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus (uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsi-nogenisitas).
Tujuan uji toksisitas akut untuk menentukan DL50 (Dosis Letal50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba dan menilai berbagai gejala toksik. Hanya dilakukan pemberian dosis tunggal.
Pada uji toksisitas sub-kronik, obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas sub-kronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia.
Uji Klinis
Syarat obat herbal agar dapat menjadi fitofarmaka yang efektivitasnya setara dengan obat konvensional adalah harus lolos uji klinis. Untuk melakukan uji klinis, obat herbal harus lolos uji preklinis terlebih dahulu.
Uji klinis dibagi empat fase yaitu:
Fase I, pengujian pada sukarelawan sehat, untuk menentukan keamanan dan tolerabilitas obat tradisional.
Fase II awal, dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding. Fase II akhir, dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding. Pada fase II diamati efikasi pada penyakit yang diobati dan diharapkan dari obat adalah mempunyai efek potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk persediaan obat.
Fase III, uji klinis definitif, melibatkan kelompok besar pasien, di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui.
Fase IV, pascapemasaran, untuk mengamati efek samping yang jarang atau lambat timbulnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, Tingkat saintifikasi obat bahan alam berlogo “Jamu” lebih rendah dari pada Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka. Hal ini dikarenakan dosis yang Jamu hanya berdasarkan pengalaman empiris turun temurun, sedangkan dosis pada OHT sudah dibuktikan pada hewan coba dan dosis fitofarmaka sudah dibuktikan pada hewan coba dan pada manusia. Akan tetapi, penggunaan obat berlogo jamu masih banyak digunakan karena mutu, khasiat, dan keamanannya terjamin sebatas pada klaim yang diizinkan. Selain itu, terbatasnya obat bahan alam golongan OHT dan Fitofarmaka membuat penggunaan obat bahan alam “Jamu” masih lebih dominan.
Daftar Pustaka
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2004). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK. 00.05.4.2411 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam. [online] Tersedia di: [https://jdih.pom.go.id/download/rule/905/HK.00.05.4.2411/2004] [Diakses pada: 8 Desember 2024].
Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2023). Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 29 Tahun 2023 tentang Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Bahan Alam. [online] Tersedia di: [https://standar-otskk.pom.go.id/storage/uploads/6dab78f8-9598-454f-a62f-7b5348ae7206/PerBPOM-No.-29-tahun-2023.pdf] [Diakses pada: 8 Desember 2024].
Wicaksono, A.B. (2023). Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Tersedia di: https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2154/jamu-obat-herbal-terstandar-dan-fitofarmaka (Diakses pada: 08 December 2024).
Yumita, A., dkk (2023). Modul Pembelajaran Standarisasi Obat Bahan Alam. UHAMKA Repository. Tersedia di: http://repository.uhamka.ac.id/id/eprint/31040/1/MODUL%20SOBA%202023-compressed_compressed-compressed.pdf (Accessed: 10 December 2024).
Yuslianti, E. R., Bachtiar, B. M., Suniarti, D. F., & Sudjiatmo, A. B. (2016). Standardisasi Farmasitikal Bahan Alam Menuju Fitofarmaka untuk Pengembangan Obat Tradisional Indonesia. Dentika Dental Journal, 19(2), 179–185
Thanks for sharing Kehidupan Kampus
How does public perception in Indonesia affect the usage and development of fitofarmaka despite its proven effectiveness? Universitas Telkom