Apoteker Maya – Aku, seorang apoteker klinis yang menghabiskan tujuh jam dalam sehari untuk pasien : menganalisa terapi, melakukan rekonsiliasi dan mengedukasi. Namun juga seringnya dibenturkan pada berbagai dinamika hidup mereka yang kadang membuatku menganalisa lebih.
Dari balik lensa cekung ini, aku mencoba memaknai bayangan-bayangan kehidupan yang datang silih berganti.
***
ICU dengan segala kebisingannya. Paradoks yang membungkam segala keluh kesah diri. Masihkah berani mulut ini berujar lelah menjalani hidup, kala menyaksikan tubuh-tubuh lemah yang berjuang untuk sekedar bernapas hingga entah menit keberapa?
Alat-alat penunjang kehidupan itu berjajar, seolah hendak mendekap tubuh mungilnya yang ringkih, di balik baju hijau ICU yang jelas kebesaran. Bednya terletak paling pojok, nyaris terlewati dari pengawasanku.
“Sudah ke pasien bed 5, Kak?” ucap Nada, perawat ICU, seniorku di rumah sakit itu.
“Ya Allah, untung diingetin. Makasi lho, Kak! Boleh pinjam dokumen rekam medisnya?” Aku tersenyum tanda berterima kasih.
“Boleh dong, silahkan! Kalau ada yang ditanyakan, sudah siap jawab nih,” jawab Nada. Perawat ICU memang hapal rutinitasku di ICU. Saat melakukan Pemantauan Terapi Obat (PTO), aku akan menanyakan beberapa hal tentang pemberian obat oleh perawat.
ICU adalah salah satu ruangan perawatan dengan tingkat kompleksitas kasus lebih daripada unit perawatan biasa. Sebagai seorang apoteker, aku punya kewajiban untuk memastikan segala sesuatunya (yang berhubungan dengan obat) berjalan sesuai prosedur, termasuk pemberian obat dan monitoring respon pasien terhadap obat.
“Pasien dengan diagnosa tumor cerebri, dengan GCS berapa, Kak?” tanyaku setelah membaca beberapa informasi pada Dokumen Rekam Medis (DRM) pasien tersebut.
“4-5-6. Mulai jam 9 pagi tadi sudah jalan drip tramadol sesuai advice DPJP kak. Soalnya K/P nyeri hebat,” Jawab Perawat Nada.
“Siap, Kak! SGOT SGPT pasien terpantau normal ya. Tekanan darah dan RR cenderung normal dan stabil. Apa pasien sempat sesak atau gelisah?”
“Aman, Kak! Rencana pindah ruangan biasa, nanti setelah visite DPJP.”
“Boleh aku izin untuk komunikasi dengan pasien Bed 5 kah?” Aku meminta izin kepada perawat Nada selaku kepala ruangan ICU.
“Tentu. Beliau sejak kemarin sendirian terus. Keluarganya jarang jenguk pas jam berkunjung, tapi coba nanti cari di tempat tunggu keluarga pasien. Semoga ada keluarganya. Mau KIE kan ya?” jawab perawat Nada. Sekali lagi, dia sangat hapal rutinitasku di ruangannya ini.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku berlalu meninggalkan nurse station menuju bed 5.
***
Perempuan paruh baya itu kutaksir berusia sekitar awal 50 tahun. Sorot matanya lemah saat menatapku, seolah bertanya ‘aku mau diapakan lagi?’
“Selamat pagi, Ibu… perkenalkan saya apoteker Maya, bertugas untuk memantau penggunaan obat Ibu selama dirawat di ICU,” sapaku seramah mungkin. Aku tidak berharap dia akan menyambutku dengan ceria. Sudah pasti gangguan nyeri dan rasa tidak nyaman karena tubuhnya dililit selang infus dan selang oksigen.
Aku memastikan tidak ada efek samping obat yang terjadi, berdasarkan daftar pemberian obat pasien itu. Aku tidak banyak berbincang dengannya karena dia tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hanya anggukan dan gelengan. Lebih banyak tatapan kosong. Samar bibirnya bergerak-gerak, seperti berdzikir.
Aku bergegas menemui keluarga pasien tersebut di ruang tunggu untuk melaksanakan tugasku selanjutnya, yaitu memberikan edukasi pemberian obat kepada keluarga pasien.
“Keluarga Ibu Suwita…,” panggilku setengah berteriak. Ini adalah panggilanku yang kesekian, tapi tidak ada jawaban.
Hendak berubah pikiran, untuk menghemat waktu, aku berencana menunda KIE dan beralih melakukan PTO kepada pasien lain. Akan tetapi, sebelum pintu ICU kututup sempurna, seorang ibu berjilbab biru tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Iya, Bu… saya keluarganya Suwita,” ujarnya. Ibu itu tersenyum seraya membenarkan jilbab birunya yang agak miring, efek terburu-buru.
“Apakah ibu keluarga yang tinggal satu rumah dengan Bu Suwita?” Aku selalu memastikan hubungan kekerabatan pasien karena lebih akurat jika menggali informasi riwayat penggunaan obat pasien dari keluarga inti.
“Tidak, Bu. Suwita adik saya. Dia tinggal sendirian di rumahnya. Tidak punya suami dan anak. Dia tidak menikah. Dia sebatang kara,” jawabnya.
Mendengar kata ‘tidak menikah’, aku seperti ditampar oleh musuh bebuyutanku. Si Overthinking. Bisikan-bisikan usil seolah berhasil menerobos akal sehatku. “Bagaimana jika nanti takdirmu adalah tidak menikah, apakah kamu sanggup sebatang kara seperti yang kau lihat pada pasienmu?”
Aku mempersilahkan Ibu itu masuk ke ruang KIE. Di sana, aku menjelaskan segala sesuatu tentang pengobatan Bu Suwita, termasuk indikasi dan risiko efek samping obat yang ada. Belakangan, kuketahui nama Ibu itu. Sulastri.
“Bu, saya pasrah dengan kondisi adik saya. Dia sebatang kara…” Bu Sulastri semakin hanyut dalam nuansa kesedihan dari ceritanya. “Saya sering kasihan karena dia kesepian. Dia baik sekali ke anak-anak saya. Sering diajakin main. Dibelikan ini itu…”
Bu Sulastri mengambil napas panjang. Matanya berangsur memerah. Menangis.
“Andai saja saat itu adik saya menikah… pasti dia tidak sakit keras seperti ini… pasti dia tidak akan banyak kepikiran… pasti dia—”
Ini bukan kali pertama aku berhadapan dengan haru biru obrolan yang awalnya sebatas profesional malah berubah arah ke ranah pribadi.
“Saya turut merasakan kesedihan Ibu. Tapi, kita yang masih sehat ini, sebisa mungkin tidak menunjukkan rasa sedih tersebut ke yang sedang sakit, Bu. Tunjukkan semangat dan optimisme bahwa semua momen sedih ini pasti akan berlalu. Kita yakinkan Ibu Suwita, sebentar lagi beliau akan kembali pulang… kembali bertemu dengan keponakan-keponakan yang beliau sayangi… Bu Sulastri, saya mohon doakan kesembuhan Bu Suwita nggih…”
Setelah menutup sesi KIE dengan Bu Sulastri, aku mempersilahkan Bu Sulastri kembali ke ruang tunggu keluarga pasien.
Ada bayangan aneh yang membuntuti langkahku kembali ke ruang ICU. Bayangan aneh itu siap membesar dan menerkam akal sehatku jika aku tak buru-buru mengucap istighfar berulangkali. Dia adalah si overthinking. “Bagaimana jika nanti takdirmu adalah tidak menikah, apakah kamu sanggup sebatang kara seperti yang kau lihat pada pasienmu?”
Tidak! Aku tidak setuju dengan Bu Sulastri. Tidak setuju dengan pikiranku yang keterlaluan. Meskipun Bu Suwita tidak menikah, beliau memiliki kasih sayang yang tulus dari dan untuk keluarganya.
Aku, meskipun usiaku sudah 28 tahun dan belum memenuhi ekspektasi orang-orang untuk menikah, aku tetap akan berusaha belajar banyak hal sebelum akhirnya Allah mempertemukanku dengan jodoh terbaik untukku (Aamiin). Bukan berarti aku akan lebih baik dari Bu Suwita. Bisa jadi beliau sudah berusaha semaksimal mungkin sepanjang hidupnya, namun jika takdir Allah berkata lain, apakah pantas menyalahkan takdir?
Menikah ataupun tidak menikah, kita tidak bisa lepas dari akhir dari kehidupan. Menikah ataupun tidak menikah, kita tidak pernah tahu bagaimana Allah menyiapkan takdir terbaik untuk hamba-Nya.
Bu Suwita, dia tidak sebatang kara. Dia punya keluarga yang menyayanginya. Dia punya Allah Yang Maha Penyayang.
***
Catatan : Semua nama yang terlibat sudah disamarkan