Apoteker Maya – Aku, seorang apoteker klinis yang menghabiskan tujuh jam dalam sehari untuk pasien : menganalisa terapi, melakukan rekonsiliasi dan mengedukasi. Namun juga seringnya dibenturkan pada berbagai dinamika hidup mereka yang kadang membuatku menganalisa lebih.
Dari balik lensa cekung ini, aku mencoba memaknai bayangan-bayangan kehidupan yang datang silih berganti.
***
Bed itu nampak kebesaran untuknya. Yah, usianya baru 20 bulan, namun ia harus terbaring di ranjang pasien dewasa. Ruang bersuhu kurang dari dua puluh lima derjat Celcius itu menjadi kamar baru untuknya. Zahira.
Mengalirlah sebuah kisah, tentang Mama dan ayah Zahira yang mencari pertolongan pertama ke IGD RS tempatku bekerja. Saat itu, badan Zahira demam tinggi, lantas kejang berkali-kali. Tangisnya mendadak hilang. Tanpa berpikir panjang, hati orangtua mana yang tega menyaksikan kondisi bayi mereka yang kian memburuk, padahal belum genap dua puluh empat jam pulang dari Rumah Sakit besar di Kota Malang.
Begitulah sekelumit curahan hati Mama Zahira, saat aku visite di ruang ICU pagi itu, sekitar pukul sembilan pagi. Masih kuingat betul, betapa bayi mungil itu sangat cantik. Kulitnya kuning langsat bersih, matanya bundar meskipun kehilangan pendarnya. Rambutnya yang lurus hitam itu kusut berantakan. Sekilas kubaca data berat badannya di Dokumen Rekam Medis (DRM), tertulis tujuh setengah kilo. Jauh dari berat badan ideal bayi seusianya.
Iya, kau tak salah baca. Bayi itu memang di ICU, bukan di PICU. Rumah sakit tempatku bekerja saat itu belum memiliki fasilitas ruangan PICU. Namun, sayang sekali rumah sakit rujukan yang memiliki fasilitas PICU belum bisa menerima rujukan karena kamar telah penuh. Sementara perawat berjuang mencari rumah sakit rujukan, bayi cantik itu harus bersabar menunggu di ICU.
“Zahira cantik sekali ya, Bu…” Aku coba mengalihkan perasaan sedih itu. Setelah menggali riwayat alergi obat dan riwayat penggunaan obat dari Mama Zahira, aku ingin menetralisir perasaan sedih ini, sejenak.
Sekitar dua puluh bungkus puyer sudah kukantongi. Terbaca puyer fenitoin. Obat yang sering kuterima dari orangtua anak-anak penderita status epileptikus . Rata-rata mereka sudah well educated tentang obat yang diminum sang buah hati. Kepatuhan minum obat sangat baik, selain karena Dokter Spesialis Anak sangat baik dalam memberikan edukasi, para orangtua tersebut berjuang sebaik mungkin untuk sang buah hati.
Mama Zahira tersenyum tipis, kembali mengalihkan pandangannya pada putri keduanya itu. Tatapan seorang ibu yang penuh semburat spektrum makna : seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya, ibu yang berharap punya lebih banyak waktu bersama buah hati, dan seorang manusia biasa yang terlihat lelah.
Zahira balas menatap Mamanya sejenak, seolah mengatakan “Ma, jangan sedih ya! Terima kasih banyak sudah berjuang untuk Zahira”. Bayi cantik itu menggerakkan lengannya yang terbalut infus.
Seperangkat IV Cath, spalk, dan infus set yang terpasang rapi itu ia gerakkan ke kanan dan kiri. Tanpa perlu bertanya lagi, aku sudah sangat paham, dia pasti merasa tidak nyaman. Apalagi dokter memberi advice anti konvulsan intravena cukup banyak : fenitoin tiap 8 jam, fenobarbital tiap 24 jam, dan diazepam jika tiba-tiba kejang.
Aku telah membaca DRM secara menyeluruh, hapal kronologi pengobatannya dari awal. Bayi ini, telah berjuang sedemikian hebatnya. Lantas, Mama Zahira kembali melanjutkan ceritanya dengan hembusan napas, berat.
“Zahira ini nggak cuma cantik, Mbak… dia anak kuat… dia anak hebat…,” Mama Zahira mengelus pipi bayinya yang mulai terpejam. Tidur.
“Rawat inap yang sekarang ini, bukan rawat inap pertama. Dia sudah melewati malam-malam yang dingin di ruangan PICU RSSA. Sebulan lamanya, dia bertemu dengan teman-teman baru. Sesama pejuang kehidupan. Berbagai macam alat sudah pernah mampir ke badannya yang mungil ini, Mbak. Saya sudah nggak sanggup menyaksikan perjuangannya…” Mama membenarkan sungkup Jackson Rees Zahira yang sempat bergeser. Lantas, beralih mengelus rambut Zahira, merapikan sekenanya.
“Kami sempat pesimis dia bisa pulang ke rumah… karena… karena…” Mama Zahira terlihat kewalahan mencegah agar air mata tak menerobos benteng pertahanannya. Terlambat. Dia menangis. Kuambilkan beberapa tissue sekenanya, membiarkan Mama Zahira menuntaskan ceritanya.
“Kami sempat pesimis, Mbak… karena satu persatu teman Zahira di ruang PICU, mereka kembali ke Rahmatullah. Tinggal Zahira seorang, yang masih gigih berjuang sampai satu bulan lamanya. Yang telah gugur digantikan pasien baru, kemudian gugur kembali… begitu seterusnya.”
Tak kusangka, kali ini aku ikut menangis. Lengan Zahira tak bergerak-gerak lagi. Mata sayunya beralih menatapku sekilas, lemah, kembali terpejam. Tertidur.
“Zahira sangat sayang Mama dan Ayahnya… dia bertahan untuk itu, Bu…” Aku mengelus bahu Mama Zahira perlahan, berusaha menyalurkan kekuatan, meskipun nampaknya tak berdampak banyak.
Setelah menjelaskan peraturan rumah sakit, bahwa setiap obat yang dibawa pasien dari rumah harus diserahkan ke apoteker untuk dikonsultasikan kepada DPJP, perihal dilanjutkan atau tidak selama MRS—meskipun aku yakin puyer ini tidak akan dilanjutkan karena DSA telah meresepkan fenitoin injeksi, aku meminta izin untuk mengambil obat tersebut dari Mama Zahira. Perempuan tiga puluh tahunan itu bersedia, terdokumentasi pada form serah terima obat.
“Selamat pagi…” Pintu ICU terbuka, jadwal kunjungan dokter spesialis anestesi. Perawat ICU segera menyambut kedatangan beliau. Perawat meminta DRM yang kupinjam untuk visite Zahira, mengisyaratkan agar aku menyudahi sesi visite kali itu.
Setelah mengucapkan terima kasih dan berpamitan pada Mama Zahira, aku kembali menuju nurse station yang masih satu ruangan dengan bed perawatan pasien. Detik jarum jam menunjukkan pukul setengah sepuluh.
Dari kejauhan, terlihat perawat memanggil Ayah Zahira yang menunggu di luar ruangan ICU, di ruang tunggu. Dokter anestesi nampak berbicara sebentar dengan kedua orang tua Zahira. Dugaanku, dokter anestesi tengah mengedukasi keluarga tentang tindakan intubasi. Monitor ICU menunjukkan saturasi oksigen hanya diangka 80%.
“Tindakan ini bisa membantu pernapasan Zahira yang saat ini kurang baik, namun tiap tindakan ada risikonya. Mengingat Zahira belum melewati masa kritisnya. Konsekuensinya, pasien bisa meninggal selama proses intubasi atau setelah intubasi. Namun, jika tidak dilakukan intubasi kemungkinan penurunan kondisi juga ada… kondisi Zahira sudah tidak stabil…” kurang lebih begitulah inti penjelasan dokter anestesi.
Mama dan Ayah Zahira terlihat berdiskusi sebentar. “Tolong lakukan apapun yang terbaik untuk putri kami, Dok!” Ayah Zahira menanda tangani surat persetujuan tindakan.
“Dokter dan mbak-mbak perawat, saya izin pamit pulang ke rumah sebentar. Saya tidak sanggup membayangkan apa yang akan dialami anak saya… mungkin setengah jam lagi saya akan kembali di RS. Saya bergantian jaga dengan Ayah Zahira. Rumah saya dekat dengan RS. Saya nitip anak saya, nggih..” Mama Zahira berpamitan sebelum meninggalkan ruangan ICU. Sementara itu, Ayah Zahira menunggu di luar ruangan ICU, berdoa.
***
Masih mengamati di nurse station, sembari mengerjakan pekerjaanku,kulihat dokter anestesi dan perawat berjuang keras. Seorang perawat melakukan bagging sembari mengamati layar monitor, sementara yang lainnya membantu dokter anestesi melakukan prosedur intubasi. Selang beberapa waktu kemudian, mereka telah menyelesaikan tugas dengan baik. Zahira terlihat tidak kesulitan bernapas. Saturasi oksigennya cukup meningkat, namun tanda-tanda vital yang lain tidak menunjukkan perbaikan. Tubuhnya memucat.
Tak lama kemudian, DSA yang merawat Zahira bergabung di ruang ICU, menyaksikan perkembangan pasiennya. Menggeleng lemah.
“Sudah di KIE perburukan?” tanyanya. Terdengar pesimis, namun begitulah kenyataanya.
“Sudah, Dok!” jawab perawat.
DSA dan dokter anestesi nampak saling berdiskusi tentang kondisi pasien yang memang mengalami perburukan. Perawat sudah bersiap, box emergency telah dibuka.
“Masuk epineprin…” DSA memerintahkan perawat untuk menyuntikkan obat adrenalin itu. Prosedur gawat darurat. Code Blue! Sirine code blue segera menggema.
Perawat memanggil ayah Zahira. DSA menjelaskan kondisi yang dialami putrinya, bahwa putri kecilnya itu tengah berjuang di ambang kehidupan.
Sembari menahan tangis, Ayah menelpon Mama Zahira. Di depannya, dokter dan perawat tengah berjuang sesuai prosedur, sebatas kemampuan mereka sebagai manusia. Namun, mereka kalah pada takdir. Pukul sepuluh pagi, EKG flat terpampang nyata di layar monitor, diiringi suara yang begitu memilukan. Zahira telah pergi.
“Ma… adik sudah nggak ada… Zahira sudah pergi…” Laki-laki itu menangis.
Zahira pergi saat Mama tak lagi di sampingnya. Zahira bertahan sejauh ini untuk Mama dan Ayahnya yang berdoa dan berjuang maksimal. Namun, radang otak itu ternyata menjadi jalan terakhirnya untuk kembali ke surga-Nya, menjadi syafaat untuk Mama dan Ayah.
Pasien PICU terakhir itu menyusul teman-temannya. Bayi cantik itu telah menjadi penghuni surga.
***
Note : Semua nama telah disamarkan