Apoteker Maya – Aku, seorang apoteker klinis yang menghabiskan tujuh jam dalam sehari untuk pasien : menganalisa terapi, melakukan rekonsiliasi dan mengedukasi. Namun juga seringnya dibenturkan pada berbagai dinamika hidup mereka yang kadang membuatku menganalisa lebih.
Dari balik lensa cekung ini, aku mencoba memaknai bayangan-bayangan kehidupan yang datang silih berganti.
***
Kala itu, ruang ICU merawat beberapa pasien dengan diagnosa yang beragam. Namun, aku sangat mengingat kisah ini. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan kisah kesetiaan seorang istri pada suaminya yang telah melukainya berkali-kali?
Bed-nya terletak di sudut ruang ICU, namun tak menghalangi ketajaman penglihatanku. Aku mengamati dengan seksama, bagaimana seorang perempuan paruh baya mencoba mengalihkan rasa sakit suaminya yang terbaring lemah. Tangannya yang mulai keriput itu sesekali membetulkan posisi selimut yang tersingkap, efek gerakan-gerakan tak terkendali dari suaminya. Setidaknya, restrain yang terpasang di setiap ekstremitasnya cukup mampu membatasi pergerakan pasien yang tengah mengalami penuruan kesadaran tersebut.
Di ICU, penunggu pasien memang dilarang mendampingi pasien. Namun, di rumah sakit tempatku bekerja, penunggu dipersilahkan menjenguk pasien pada jam-jam tertentu.
Aku menyapa si Ibu dengan ramah. Kebetulan jam besuk memang baru saja dimulai.
“Selamat pagi, Ibu. Mohon maaf mengganggu waktunya sebentar. Saya Maya, apoteker yang bertugas untuk memantau terapi obat dari bapak. Saya minta izin untuk menanyakan beberapa hal, boleh nggih?” template perkenalan, khas apoteker yang bertugas di rawat inap. Tentunya, sebelumnya aku telah melakukan identifikasi pasien dengan benar sesuai dengan Sasaran Keselamatan Pasien (SKP).
Ibu itu terlihat mengusap air matanya. Tersenyum ramah, mengisyaratkanku untuk melanjutkan percakapan. Aku membantunya menuju ruang edukasi, tak jauh dari nurse station.
Diagnosa dokter spesialis saraf yang merawat pasien adalah CVA Trombosis. Pasien gelisah. Aku lupa GCS-nya berapa. Seperti biasa, aku melakukan asesmen Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) dan Riwayat Penggunaan Obat (RPO) pasien. Saat visite itu, terlihat pasien memang nampak kesakitan di area abdomen. Tak sengaja, kulihat di lengan kanan pasien (mohon maaf) ada tato yang cukup besar. Gambarnya menyerupai ular. Aku jadi ingat tato milik pengikut Voldemort.
Meskipun mengalami penurunan kesadaran, pasien enggan melepaskan genggamannya dari sang istri. Sangat erat. Seolah dia meminta istrinya itu untuk selalu menemani di dinginnya ruang ICU. Seolah, dia hanya ingin mendengar hembusan napas istrinya daripada harus mendengar suara peralatan medis yang menakutkan.
Awalnya, si Ibu mengatakan riwayat sakit pasien hanya sebatas Hipertensi. Oke, klop dengan asesmen dokter IGD. Kugali terus tentang RPO karena pada lembar asesmen tersebut belum tertulis riwayat pengobatan dengan detail.
“Suami saya rutin minum obat hipertensi, Mbak…” ujarnya.
“Ingat nama obatnya, Bu?” aku mulai mengejar.
“Amlodipin 5 mg… amlodipin 10 mg… dari puskesmas A dan puskesmas B, Mbak…” ungkapnya terbata-bata. Sengaja nama puskesmasnya kusamarkan.
Wah, kenapa bisa duplikasi pengobatan begini? Docter shopping kah?
Kulontarkan lagi beberapa pertanyaan, terus menerus hingga akhirnya perempuan berjilbab lebar itu membuka tas jinjingnya, mengeluarkan sekotak penuh obat-obatan.
“Ini obat-obatan yang diminum bapak selama di rumah, Mbak…”
Mataku membola. Dahiku berkerut. Mengapa bisa menyimpan obat sebanyak ini? Bukankah si Ibu bilang “Bapak rajin minum obat hipertensi”? Lha, ini kok malah jadi koleksi. Kuanalisa, adherence atau kepatuhan pasien tergolong rendah.
Setelah kuamati lebih detail, obat-obatan antihipertensi tersebut sudah banyak yang expired. Ampuuun. Tepok jidat! Informasi tambahan dari si Ibu, si Bapak suka memberikan obat-obat miliknya ke teman-temannya yang mengeluh pusing karena tekanan darah tinggi. Jelas bukan tindakan yang dibenarkan.
Yah, tidak semua paham tentang obat-obatan. Tidak semua paham jika obat A sama dengan obat B, sehingga tidak boleh digunakan keduanya. Aku yakin, petugas kesehatan di fasilitas kesehatan sebelumnya telah memberikan penjelasan tentang obat.
Singkat cerita, aku tertarik pada obat-obatan di kotak itu. Terbaca dari poli Penyakit Dalam. Ada Omeprazol, Curcuma dan Spironolacton 100 mg. Riwayat gangguan liver kah?
“Bapak ada riwayat berobat ke poli Penyakit Dalam nggih?” tanyaku. Disambut anggukan si Ibu.
“Diagnosanya apa, Bu?”
Si Ibu menggelengkan kepala, kurang paham dengan istilah medis. “Coba saya ambilkan hasil USG di rumah sakit sebelumnya, ya, Mbak, mungkin bisa membantu…”
Kutunggu dengan sabar, sementara pikiranku sudah kacau dengan banyak kemungkinan. Mungkinkah pasien dengan riwayat sirosis hepatis tapi belum terkaji? Kuamati sekali lagi lembar Pemantauan Terapi Obat (PTO)-ku, tidak ada terapi untuk sirosis hepatis dan penyakit per-hati-an lainnya. Diagnosa dan terapi dari DPJP masih seputar neurologi.
Tak lama kemudian, si Ibu kembali. Kubaca kesimpulan bacaan dari dokter radiologi : HEPATOMA.
Hepatoma atau karsinoma hepatoselular adalah bentuk kanker hati yang sering ditemukan pada orang dengan riwayat sirosis hati, fatty liver, infeksi kronik hepatitis B dan hepatitis C.
Sempat terdiam beberapa saat, aku memutuskan untuk menjelaskan singkat bahwa berdasarkan bacaan USG tersebut, memang bapak menderita gangguan liver, yang mana bisa menyebabkan penurunkan efektivitas obat. Si Ibu nampak terkejut, namun kemudian sorot matanya berangsur sayu. Pasrah.
Sebagai salah satu aspek asesmen medis, aku bertanya tentang riwayat sosial. Riwayat sosial ini berkaitan dengan riwayat penggunaan tembakau maupun alkohol. Pertanyaan ini memang sensitif, tidak ada tendensi pada stereotip tato (mirip) Voldemort itu. Namun, aku perlu memastikan riwayat sosial pasien untuk menyusun care plan.
“Mohon maaf, Bu. Izin bertanya untuk melengkapi pengkajian saya. Apakah bapak seorang peminum?” ujarku. Mulai khawatir si Ibu tersingung lantaran tak ada sepatah katapun pada detik-detik selanjutnya.
Si Ibu mulai terbuka. Sangat terbuka. Diluar dugaanku, ia menceritakan semuanya. Bahwa, suaminya sudah menjadi pecandu alkohol sejak awal menikah. Terhitung selama 28 tahun! Si Bapak tidak pernah memberikan nafkah, hingga si Ibu banting tulang sendiri demi menghidupi anak dan suaminya.
“Bapak ini orangnya keras kepala, Mbak! Nggak pernah mendengarkan permintaan saya untuk menghentikan kebiasaannya mabuk-mabukan.” Air matanya mulai mengalir. Matanya merah, semerah ungkapan kekesalan yang mungkin sudah dipendam sejak lama.
“Siang malam saya banting tulang cari makan dan buat menuhin kebutuhan hidup, tapi dia dengan gampangnya meminta uang untuk beli miras… saya nggak berani ngelawan dia. Saya nggak mampu ninggalin dia. Bagaimanapun, dia suami saya… cinta terakhir saya…” Kini air mata itu telah bermuara pada pembuktian terbesarnya. Tentang ketulusan seorang istri yang tetap berusaha berbakti, walaupun hatinya telah remuk.
Aku yang gampang berempati ini, tak kuasa ingin memeluk si Ibu, tapi aku sadar akan ranah profesionalitas. Aku hanya bisa mendoakan dalam hati, semoga Allah memberikan pertolongan terbaik untuk keluarga mereka.
“Tidak mudah berada di posisi Ibu, namun Ibu telah membuktikan kepada dunia tentang makna kesetiaan dan teguhnya kesabaran. Saya yakin, Bapak telah menyadari segala kesalahannya… dan saya yakin, bapak ingin meminta maaf atas segala rasa sakit yang ibu rasakan di masa lalu.”
Aku menghembuskan napas panjang. “Semoga maaf dari Ibu bisa meringankan rasa sakit Bapak…”
Si Ibu mengangguk, beralih menatap suaminya dari bilik ruang edukasi.
Aku izin mencatat semua obat-obatan yang ada di kotak tersebut. Dokumentasi yang kucatat pada Dokumen Rekam Medis pasien tersebut akan kujadikan bahan untuk berdiskusi dengan perawat dan dokter.
Aku sengaja menunggu dokter Neuro visite agar bisa visite bersama. Pada momen itu, aku berencana akan mendiskusikan Drug Related Problem yang kutemukan.
Kututup sesi edukasi obat tersebut dengan menjelaskan tentang semua obat yang diberikan dokter spesialis saraf, serta kemungkinan akan ada tambahan obat dari dokter penyakit dalam untuk mengobati penyakit livernya.
***