Mini Story #7 Aku Mencintainya, Meski Jadi yang Kedua

Apoteker Maya – Aku, seorang apoteker klinis yang menghabiskan tujuh jam dalam sehari untuk pasien : menganalisa terapi, melakukan rekonsiliasi dan mengedukasi. Namun juga seringnya dibenturkan pada berbagai dinamika hidup mereka yang kadang membuatku menganalisa lebih.

Dari balik lensa cekung ini, aku mencoba memaknai bayangan-bayangan kehidupan yang datang silih berganti.

***

Hidup dan seisinya akan terasa indah jika kita memiliki tujuan untuk melangkah. Sebaliknya, kau akan tersiksa dengan segala kerumitan pikiran dan perasaanmu, saat kau tak menemukan tujuan itu. Atau, kau sudah menemukan tujuan hidupmu, namun dia sedang terbaring lemah tak berdaya di hadapanmu. Langitmu seolah runtuh menyaksikan separuh jiwamu itu bersiap untuk menemui akhir hidupnya.

Begitulah kiranya arti tatapan perempuan enam puluh tahunan di depanku itu. Aku baru saja memanggil keluarga pasien HCU bed 11, melaksanakan tugasku menjelaskan tentang pengobatan yang diresepkan oleh dokter. Perempuan yang berjalan agak tertatih itu duduk di sebelahku, di ruang konseling. Tangannya terlipat di atas meja. Dia tersenyum ramah ke arahku, namun sorot matanya yang sedih tak mampu disembunyikan.

“Selamat pagi, Bu. Perkenalkan nama saya Maya, apoteker yang bertugas di unit HCU ini. Saya yang mengurus segala sesuatu tentang obat-obatan Bapak. Saya izin minta waktunya Ibu sebentar untuk melakukan edukasi tentang obat,” ucapku, menyapa beliau. Mencoba seramah mungkin, seperti biasa.

Sekali lagi, beliau tersenyum ramah, mendengar semua penjelasanku tentang obat, menjawab semua pertanyaanku dengan jelas. Sepertinya beliau adalah orang yang supel dan berwawasan luas.

“Apakah bapak ada riwayat penggunaan obat selama ini, Bu? Apa ada obat-obat yang rutin diminum di rumah?” Aku bersiap menulis di formulir Riwayat Penggunaan Obat (RPO).

Di luar prediksiku, perempuan yang sedari tadi tersenyum itu perlahan memudarkan senyumnya. Tatapannya berangsur kosong, menyisakan lapisan bening yang lambat laun retak. Dia menyeka bulir-bulir air mata yang lolos dari kontrolnya, kembali tersenyum.

“Bapak sudah sakit sejak lima tahun yang lalu, Mbak. Sekitar setahun setelah kami menikah.”

Tangannya yang sejak tadi terlipat di atas meja, perlahan meraih tas hitam miliknya. Agak gemetar, tangan yang juga sudah keriput itu merogoh sesuatu.

“Bapak rutin minum ini, Mbak. Saya selalu menyiapkan obat Bapak seorang diri. Bapak sangat tergantung kepada saya. Semua serba saya yang menyiapkan. Anak-anaknya sudah tidak ada yang peduli lagi…” Nada bicaranya menurun diakhir kalimat, agak bergetar.

Aku mengerti, Ibu itu berusaha membagikan keluh kesahnya. Untuk memudahkan, selanjutnya kusamarkan nama beliau menjadi Bu Bunga.

“Permisi, Bu… saya izin melakukan pengecekan untuk obat yang dibawa dari rumah…” Aku meminta izin untuk mencatat riwayat penggunaan obat tersebut.

Benar dugaanku, berdasarkan RPO di depan mata kepalaku, pasien dengan diagnosa awal CKD dan Hematemesis itu telah menjalani pengobatan yang panjang. Di depanku, berjejer obat-obat golongan ACE Inhibitor, Angiotensin Receptor Blockers, diuretik loop, diuretik hemat kalium, hingga obat hemostatik untuk menghentikan pendarahan.

“Bu, mohon maaf izin menjelaskan. Sesuai dengan peraturan rumah sakit, bahwa obat yang dibawa dari luar rumah sakit harus kami pantau, salah satu caranya dengan mengambil dan menyimpan obat tersebut selama masa rawat inap. Jika ibu bersedia obat tersebut saya tarik, silahkan tanda tangan di formulir persetujuan ini nggih, Bu…” Aku menjelaskan dengan bahasa semudah mungkin, sembari menyodorkan formulir serah terima obat.

Bu Bunga terlihat berpikir, memandang obat-obatan tersebut sejenak. Mengalirlah cerita yang membuka mataku tentang arti mencintai dan dicintai.

***

“Bukan menjadi sebuah masalah jika obat-obatan ini tidak lagi saya simpan. Saya sudah seperti bersahabat dengan obat-obatan ini. Semua nasihat dokter sudah saya patuhi. Meskipun dunia menghujani saya dengan hinaan dan cacian, tapi saya tetap menjunjung tinggi bakti dan kasih sayang kepada suami saya. Meskipun saya melakukannya seorang diri, saya merawat bapak dengan sepenuh hati. Dia adalah separuh jiwa saya, Mbak…”

Sejujurnya aku masih belum sempurna memahami puzzle kisah yang keping-kepingnya masih berserakan itu. Aku masih menerka-nerka. Bukankah tadi Ibu bilang, dia merawat bapak seorang diri? Anak-anak mereka tidak ada yang membantu merawat Bapak? Bapak sudah sakit sejak lima tahun yang lalu, setahun setelah mereka menikah? Berarti usia pernikahan Bapak dan Ibu baru enam tahun?

Sekelebat ingatan menyapaku, seingatku memang sejak pertama kali Bapak dirawat di HCU, aku tak mendapati anak-anaknya menjenguk di jam besuk. Meskipun sebenarnya banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Apakah anak-anak mereka masih sibuk bekerja?

“Mbak belum sepenuhnya mengerti, kan? Apakah mbak sudah berumah tangga?” Ibu itu menatapku, kali ini cukup mengintimidasi.

“Eeeh… iya, saya belum menikah, Bu,” ucapku tergagap. Reflek yang buruk.

“Nanti kalau mbak sudah menikah, mbak pasti paham. Betapapun dunia jahat kepadamu, saat suamimu adalah satu-satunyanya alasan untuk hidup, kamu akan bertahan meskipun seluruh dunia memaksamu untuk menyerah.”

Percakapan ini memang sudah melenceng dari topik dan profesionalitas. Aku bisa saja mengalihkan pembicaraan, namun detik itu, aku memilih untuk mempersilahkannya menuntaskan cerita yang baru saja dimulai. Semua pekerjaanku sudah selesai. Aku punya cukup waktu untuk mendengarkan keluh kesahnya. Women support women.

“Saya memang menikah dengan Bapak di usia senja. Kami dipersatukan semesta karena kami ternyata membutuhkan satu sama lain.”

Aku masih belum menemukan kalimat suportif yang bisa membesarkan hatinya. Berujung hanya menjadi pendengar setia. Tunggu, tapi kenapa aku tertarik dengan kisah ini?

“Istri pertama Bapak sudah meninggal, padahal anak-anaknya masih kecil. Saat itu, saya masih bersama almarhum suami pertama saya. Kami memang berteman baik semasa sekolah, saya kira hanya akan sebatas itu saja…”

Bu Bunga tersenyum simpul, penuh arti.

“Dia laki-laki yang sangat setia. Sangat mencintai istri pertamanya. Bertahun-tahun merawat ketiga anaknya seorang diri. Single parent. Zaman dulu, kami biasanya mengetahui kabar satu sama lain saat datang ke reuni sekolah, beda dengan zaman sekarang yang sangat mudah mengetahui kabar orang lain, bahkan terkadang tanpa diminta.” Beliau mengeluarkan gawainya, menunjukkan WA Story yang penuh. Terkekeh.

“Dulu, saya datang ke reuni sekolah dengan almarhum suami saya, sedangkan Bapak datang seorang diri. Gagah betul, tak nampak sedihnya. Dengan setelan jas khas pakaian pengusaha sukses. Kami bertegur sapa, saling bertanya kabar satu sama lain. Almarhum suami saya akrab dengannya karena mereka menekuni bidang usaha yang sama. Properti.”

“Hingga datanglah hari yang mendung itu. Lebih tepatnya badai baru saja dimulai. Suami pertama saya dilarikan ke IGD, serangan jantung. Dia memang perokok aktif, namun saya tidak menyangka jika Tuhan mengambilnya begitu cepat. Usianya masih 48 tahun, bahkan kami belum dikaruniai anak saat itu.” Bu Bunga sungguh ringan sekali menceritakan kisah hidupnya kepadaku, orang asing yang baru ditemuinya beberapa menit yang lalu.

“Tapi hidup harus tetap berjalan, kan, Mbak?” Dia beralih menatapku, mencari validasi.

“Betul, Bu… Semua pilihan dalam hidup memang ada sebab dan akibatnya masing-masing,” jawabku, berusaha menjadi pendengar yang netral.

“Iya, kamu benar sekali, Mbak. Nampaknya, meskipun kamu belum menikah, kamu sudah cukup kenyang belajar tentang kehidupan, ya?”

Aku hanya tersenyum, bahkan tak sanggup untuk sekedar mengangguk. Benarkah aku sudah tuntas belajar? Bukankah aku masih sering terjebak “remedial”?

“Selepas masa iddah selesai, saya sepenuhnya berdiri di atas kaki saya sendiri, Mbak. Saya ambil alih semua usaha properti suami saya. Saya bekerja keras siang dan malam, sekedar untuk melupakan kesedihan. Ternyata, bisnis itu melesat. Saya seperti di atas angin. Istilah zaman sekarang Independent woman, ya?” Bu Bunga tertawa renyah, mengubah penilaianku sebelumnya. Perempuan tersebut ternyata cukup inspiratif.

“Tiba-tiba saja, Bapak datang ke kehidupan saya. Membuat sebuah pengakuan yang mengejutkan.”

“Bapak melamar Ibu?” tanyaku spontan.

Dia mengangguk. Menyeka air matanya lagi. Menangis lagi.

“Dia membuat sebuah pengakuan, sebenarnya Bapak sudah menyukai saya sejak zaman sekolah, tapi karena saat itu saya sudah berpacaran dengan almarhum suami, Bapak memilih melupakan perasaannya.”

Aduh, kenapa bisa kebetulan bagai sebuah analogi denganku? Aku membetulkan letak dudukku, yang mendadak terasa salah.

“Awalnya saya menolak pinangannya. Apa kata orang? Saya sudah berusia lima puluh tahun lebih, bahkan mendekati kepala enam. Jika saya menikah lagi, akan memunculkan banyak spekulasi. Bumerang.”

“Kalau boleh tahu, apa yang akhirnya membuat Ibu yakin menerima lamaran Bapak?” Takut-takut, akhirnya kulontarkan pertanyaan tersebut.

“Karena Bapak membutuhkan saya, dan saya membutuhkan Bapak.”

Sekali lagi, obat-obat di meja itu seolah bersorak sorai, terkesan mengejekku. Jawaban yang membuatku tak sanggup lagi membantah. Bukankah jatuh cinta memang tidak perlu beralasan?

“Keluarga Bapak menolak rencana itu, terlebih anak-anak. Mereka membenci saya, seolah Ibu tiri hanya akan mendapat peran antagonis. Saya sudah coba pakai berbagai macam cara untuk mendekati mereka, namun mereka kukuh dengan asumsi bahwa…” Bu Bunga berhenti sejenak, terlihat berpikir apakah kalimatnya pantas dia ucapkan.

“Bahwa saya hanya menginginkan harta Bapak.” Bu Bunga meninggikan intonasinya, seolah menegaskan dia sama sekali tidak seperti yang dipikirkan anak-anaknya.

“Padahal saya sudah berkecukupan. Tak pernah terbersit sedikitpun untuk melakukan segala tuduhan mereka. Malah, anak-anak Bapak yang kurang menunjukkan rasa empatinya. Sejak Bapak sakit, mereka tidak pernah menjenguk Bapak. Tidak pernah bertanya apakah obat-obat ini sudah diminum. Mereka malah menuduh saya sengaja membuat Bapak sakit agar bisa menguasai hartanya. Astaghfirullah…”

Pundaknya bergetar hebat. Menangis lagi. Kuputuskan menyudahi sesi konseling tersebut.

“Bu, saya memang tidak banyak mengerti tentang dunia rumah tangga. Tetapi saya yakin, Allah adalah sebaik-baiknya perencana. Semua manusia punya ujiannya masing-masing. Ujiannya Ibu mungkin salah satunya di keluarga. Maka, setelah ini, insya Allah, jika Ibu tetap berusaha bersabar atas segala sesuatunya, Ibu akan merasakan bahagia yang Ibu butuhkan. Yang sabar ya, Bu…” ujarku sembari mengelus pundak Bu Bunga.

“Iya, Mbak… Saya ingin anak-anak tahu… bahkan seluruh dunia harus tahu. Saya tulus mencintai Bapak meskipun jadi yang kedua. “

***

Keesokan harinya, saat melakukan visite di ruang HCU, aku kembali berjumpa dengan Bu Bunga. Jam berkunjung baru saja dimulai. Dia mengenakan gamis bermotif bunga. Jilbab lebarnya berwarna merah muda cerah. Raut wajahnya bersinar, memancarkan semangat. Berbeda dari pertemuan pertama kami di ruang konseling kala itu.

Alasannya tidak lain karena anak-anak sudah mau menjenguk Bapak. Yah, aku melihatnya dengan mata kepalaku beberapa waktu yang lalu. Anak dan ibu sambung itu saling berpelukan, saling meminta maaf.

Aku menyapa pasangan itu dengan ramah, menanyakan keluhan Bapak. Laki-laki dengan kumis dan rambut yang memutih itu menggeleng lemah. Artinya tidak ada keluhan. Monitor mindray berpacu menunjukkan tanda-tanda vital Bapak. Tekanan darah dan laju pernapasan masih terpantau belum normal. High Flow Nasal Cannula (HFNC) masih terpasang untuk menyuplai oksigen.

Bu Bunga terlihat mengelus lengan kanan Bapak. Sembari mengajaknya berbicara dengan ceria.

“Sayang, kalau nanti kamu sembuh, kita pergi ke taman kompleks lagi ya. Kita harus menyaksikan cantiknya langit dengan semburat jingga. Janji ya?”

Bapak mengangguk lemah, sembari tersenyum tipis.

Aku berlalu meninggalkan mereka yang tengah menikmati waktu berdua, yang entah kenapa terasa berjuta kali lebih berharga.

***

Hari berganti hari. Aku masih melakukan tugas visite di ruang HCU. Benar saja, aku semakin mengkhawatirkan kondisi Bapak Bed 11. Dokter menambah beberapa obat yang menopang kehidupannya. Kombinasi Norephineprin dosis 0,1-2 mcg/kgbb/menit dengan dobutamin 5-10 mcg/kgbb/menit. Tekanan darahnya semakin cenderung turun, juga kesadarannya.

Terpasang penanda DNR di gelang pasien. Artinya, keluarga Bapak menolak tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) jika terjadi code blue.

Pagi itu, seperti biasa, aku berkeliling untuk melakukan visite dari Bed 1 hingga bed 14. Mencatat segala perkembangan pasien dan memastikan tidak ada Drug Related Problem (DRP). Hingga sampailah aku di Bed 11. Bu Bunga ada di sana, mendampingi Bapak yang masih belum bisa berkomunikasi. Perawat Nana sedang melakukan tindakan kumbah lambung.

“Semakin hari semakin menghitam ya?” tanyaku. Perawat yang tengah membersihkan selang NGT itu mengangguk.

“Kita doakan saja…” ujarnya kemudian. Cairan lambung Bapak sudah menghitam, artinya terjadi perdarahan di saluran pencernaan bagian atas.

“Mbak-mbak, nanti kalau sudah berkeluarga, jangan lupa ucapkan kalau kalian mencintai pasangan kalian. Bapak selalu bilang ‘Aku mencintaimu’ setiap pagi…” Bu Bunga tiba-tiba mengintervensi percakapan kami.

Aku dan Perawat Nana sontak menoleh ke sumber suara. Berusaha menghargai. Kami mengangguk dan tersenyum.

“Meskipun kami sudah setua ini, tapi kami selalu menunjukkan rasa cinta satu sama lain. Bapak selalu minta dipijit punggungnya tiap sore, sembari menyeduh teh hangat bikinan saya. Katanya, kalau berada di dekat saya, hatinya terasa tenang. Rasa sakitnya berkurang. Itu sebabnya, saya tadi minta dispensasi ke kepala perawat agar saya bisa agak lama menemani Bapak di sini…”

Kami berdua tidak berani menyela, hanya diam mendengarkan curahan hati Bu Bunga yang nampak sudah kelelahan.

“Saya harap, jika saya berada di dekat Bapak, memijatinya, saya bisa mengurangi rasa sakit Bapak. Tetapi, sepertinya kali ini berbeda…” Bu Bunga mulai menangis.

Aku dan perawat Nana saling berpandangan kembali. Lantas, aku berlari memeluk Bu Bunga, mengelus pundaknya.

“Ibu harus kuat buat Bapak. Ibu tidak boleh menangis di depan Bapak,” pinta Perawat Nana.

Tiba-tiba layar monitor berkedip. Perawat Nana mengumumkan telah terjadi code blue pada Bed 11. Perawat-perawat lain berdatangan, saling berbagi tugas. Ada yang langsung sigap lapor kepada dokter jaga dan DPJP. Pasien DNR, tidak dilakukan RJP. Bu Bunga berdiri tak jauh dari suaminya. Tenang, tidak meronta-ronta. Hanya menangis dan merapalkan doa. Melepas kepergian suaminya dengan segala cinta dan kesetiaannya.

***

Note : semua nama telah disamarkan

Share your love
apt. Maya Firdausi, S.Farm
apt. Maya Firdausi, S.Farm

I'm a clinical and community pharmacist. I love writing!

Articles: 26

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *