Mini Story #8 Kakak, Apa Aku Bisa Sembuh?

Apoteker Maya – Aku, seorang apoteker klinis yang menghabiskan tujuh jam dalam sehari untuk pasien: menganalisa terapi, melakukan rekonsiliasi dan mengedukasi. Namun juga seringnya dibenturkan pada berbagai dinamika hidup mereka yang kadang membuatku menganalisa lebih.

Dari balik lensa cekung ini, aku mencoba memaknai bayangan-bayangan kehidupan yang datang silih berganti.

***

Aku mencintai pekerjaanku.

Tiga kata keramat yang aku rapal setiap hari. Meski berat rasanya harus berangkat satu jam lebih awal, jarak rumah sakit tempatku bekerja dengan tempat tinggalku sekitar dua puluh kilometer.

Sedikit berkisah, setiap hari, aku harus memacu motorku membelah kesunyian jalan perdesaan. Kiri kanan menjulang pohon-pohon besar dan semak-semak lebat. Tak ketinggalan pemandangan nan sejuk, perpaduan gunung Penanggungan, gunung Arjuno, berhektar-hektar sawah, ladang tebu dan ladang jagung. Total, aku harus melewati tiga kali perlintasan kereta api, tiga pemakaman, tiga masjid desa, puluhan hektar kebun mangga, dan sebuah pekarangan luas yang terkesan menyeramkan. Tenang, kali ini aku tidak akan membahasnya.

Lelahnya perjalanan kadang membuatku berpikir, apa yang kucari di dunia ini? Dunia kerja dengan segala problematikanya yang melelahkan.

Tantangan pekerjaan pada bidang pelayanan memang beragam, membuatku banyak belajar untuk menjaga kestabilan mood sehari-hari. Perbedaan cara pandang dan pola pikir menjadi makanan sehari-hari, entah dengan nakes lain atau dengan pasien.

Seburuk apapun kondisiku, seburuk apapun kondisi pasienku, aku harus memberikan pelayanan kefarmasian sebaik yang kubisa.

Salah satunya kisah ini. Aku masih mengingatnya dengan baik, meskipun sekarang aku sudah pindah rumah sakit. Saat itu, aku masih menjadi apoteker di ruang ICU.

Aku, perempuan dengan segala luka yang harus bersikap baik-baik saja menghadapi realita, nyatanya dihadapkan pada sebuah kisah yang menamparku, malu rasanya untuk sekedar mengeluh apalagi menyerah pada ujian hidupku yang nampaknya masih jauh lebih beruntung.

Adik itu… ayahnya… semua memori-memori itu berputar di kepalaku. Semoga saat ini mereka menuai kebahagiaan yang saat itu mereka perjuangkan… yang mereka munajatkan dengan penuh keyakinan.

***

Lain dari biasanya, kesibukan di ruang ICU berlipat-lipat. Perawat ICU baru saja menerima dua pasien pediatri (anak), pindahan dari ruang Recovery Room, post operasi laparotomi. Hanya selisih tiga jam satu sama lain, keduanya melanjutkan perjuangan mencari kesembuhan di ruang ICU, ruangan dengan tingkat pengawasan paling ketat seantero rumah sakit.

Dua pasien Bedah Anak itu bukan saudara, usia mereka terpaut hanya dua tahun. Reyhan berusia empat belas tahun, sementara Devan dua tahun lebih muda. Aku sengaja menyamarkan nama mereka.

Reyhan menempati bed 6, sementara Devan terbaring pada bed 1. Bisa dibilang, kondisi mereka sama kritisnya, namun Reyhan sedikit lebih beruntung karena dia tidak harus merasakan prosedur intubasi seperti yang dialami Devan.

“Kak, boleh pinjam DPO (Daftar Pemberian Obat) nya ya?” tanyaku, sesampainya di nurse station yang lebih berantakan dari biasanya. Firasatku berkata… gawat! hari ini akan menjadi hari yang melelahkan!

Kak Lulu dan timnya masih berkutat pada pekerjaan-pekerjaan keperawatan yang nampaknya memberat berkali-kali lipat. Mereka sampai tidak menyadari keberadaanku di sana. Tanpa menunggu jawaban, aku meraih DPO dan Dokumen Rekam Medis Pasien di nurse station, memeriksa CPPT (Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi) yang diisi oleh dokter, perawat, ahli gizi, dan apoteker.

Hari itu, semua bed ICU penuh. Terisi enam pasien dengan diagnosa berbeda, termasuk Reyhan dan Devan. Kupastikan segala sesuatunya aman tentang obat-obatan, mulai dari tidak ada obat kosong yang perlu advice subtitusi, tidak ada interaksi obat yang berarti, efek samping obat, tepat dosis dan rute, hingga kupastikan tidak ada inkompatibilitas.

Biasanya, setelah selesai memeriksa kesesuaian Dokumen Rekam Medis, aku akan melakukan visite ke pasien, berkeliling dari bed 1 hingga bed 6. Menyaksikan layar monitor mindray menunjukkan deretan angka merah, hijau, kuning, dan biru. Angka-angka penunjuk TTV atau tanda-tanda vital : tekanan darah, denyut jantung, laju napas, saturasi oksigen, serta garis EKG dengan irama Sinus Ritmis, Atrial Fibrillation (AF), hingga pasien dengan Supraventricular Tachycardia (SVT).

Bed 1, Devan. Bocah laki-laki dua belas tahun. Andai saja aku bertemu dengannya dalam kondisi yang lebih baik, saat dia sehat, kupastikan dia adalah anak manis yang menyenangkan. Suara mesin ventilator terdengar lebih mengerikan dari jarak sekian sentimeter dari tempatku berdiri, mengamati infus pump yang berjejer menggantung di tiang infus. Obat-obatan life saving dobutamin dan norepinephrin berkolaborasi dengan obat-obatan sedasi midazolam dan atracurium. Seolah bahu membahu berusaha memperpanjang detik demi detik harinya.

Interaksi obat antara dobutamin dan norepinephrin wajib kulakukan monitoring serum elektrolit karena penggunaan kedua obat ini dapat menurunkan nilai kalium. Tanda-tanda Vital terpantau masih stabil.

Dari Bed 1 tempatku berdiri, aku bisa mengamati kondisi Reyhan pada Bed 6. Layout ruang ICU ini memang di desain “letter U”. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Devan, namun dia terlihat lebih “beruntung”. Hatiku kembali ngilu menyaksikan kondisi kedua anak tersebut. Perutnya sama-sama terdapat jahaitan luka operasi, kira-kira sepanjang penggaris yang biasa mereka gunakan di sekolah.

Aku beralih ke Bed 6, Reyhan. Matanya masih terpejam. Masker oksigen NRBM masih terus membantunya bernapas. Tidak ada obat-obat penunjang kehidupan maupun obat bius selayaknya Devan. Tidak ada selang panjang ventilator. Saat kuamati kondisinya, tiba-tiba matanya terbuka, mengerjap-ngerjap, seolah berpikir dia sedang berada dimana. Dia menatapku cukup lama, sampai kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.

“Hai, Reyhan! Bagaimana kabarmu hari ini? Apa kamu merasa mual?” sapaku seramah mungkin. Dia menggeleng lemah.

“Pusing?” tanyaku lagi. Dia kembali menggeleng.

“Oh, baiklah! Sepertinya kamu memang anak laki-laki yang hebat! Kakak bangga sama kamu.” Kupastikan semua aman terkait obat-obatan.

“Kakak, apa aku bisa sembuh?” tanyanya seketika. Suaranya parau.

Aku tersenyum. “Pak Dokter dan semua kakak-kakak yang ada di sini sedang mengusahakan kesembuhan buat Reyhan. Jadi, Reyhan harus tetap semangat ya! Kita berjuang berjuang dan berdoa bersama-sama untuk kesembuhan Reyhan…” ucapku seceria mungkin. Padahal aku sedang mengamati luka jahitan di perutnya, dia hebat sekali mampu menahan rasa sakit sebesar itu.

Reyhan menatapku tanpa ekspresi.

Aku hendak menyudahi visiteku dan beranjak melakukan edukasi kepada keluarga. Kuputuskan memanggil keluarga Devan duluan.

“Keluarga anak Devan?” panggilku saat di ruang tunggu. Semua melengos, tidak merasa dipanggil. Hingga seorang bapak berambut putih, berjenggot putih, berpeci putih, mengenakan setelan baju koko dan sarung itu menyahut dengan tenang.

“Keluarga Devan sedang di masjid, Bu. Tadi pamitan kepada saya, mau sholat dhuhur dulu katanya,” jawabnya. Dari nada dan caranya berbicara, kupikir beliau orang yang bijaksana.

“Baik, terima kasih informasinya. Kalau boleh tahu, bapak dari keluarga pasien atas nama siapa nggih?”

“Saya keluarganya…”

Belum sempat beliau menuntaskan kalimatnya, percakapan kami terhenti karena Perawat Lulu memberikan sebuah pengumuman.

“Dimohon keluarga pasien anak Devan segera menuju nurse station ruang ICU segera. Sekali lagi, dimohon keluarga pasien anak Devan segera menuju nurse station ruang ICU segera. Terima kasih.”

Tergesa-gesa, bapak di hadapanku itu mengisyaratkan untuk menyudahi percakapan kami.

“Bu, maaf saya izin menelpon keluarga Devan dulu nggih… tadi Abi-nya Devan berpesan, jika ada kondisi darurat agar segera menelpon.”

Aku mengangguk dan tersenyum, mempersilahkan dengan ramah. Tanpa mengulur waktu lagi, bapak itu berjalan menjauh, mencari ruang yang kondusif untuk menelpon. Aku sudah terbiasa memaklumi hal-hal seperti ini.

Aku kembali ke ruang ICU, mempersiapkan formulir KIE pasien selanjutnya. Formulir KIE milik Devan kukembalikan ke DRM. Itu artinya, aku harus melakukan KIE di lain kesempatan.

“Keluarga pasien anak Reyhan…” panggilku di ruang tunggu ICU. Dua remaja laki-laki menghampiriku. Dua-duanya memiliki garis wajah dan gaya berpakaian yang sama: mengenakan peci putih dan setelan baju koko beserta sarung. Mungkin mereka kakak-kakaknya Reyhan? Aku memandu mereka untuk mengikutiku ke ruang KIE.

“Dengan siapanya Reyhan kalau boleh tahu?” tanyaku setelah mempersilahkan mereka duduk.

“Kakaknya, Bu.” Tanpa berpikir panjang, kupandu mereka ke ruang KIE.

“Apakah ada orangtuanya?” tanyaku. Usia mereka sebenarnya sudah layak untuk menerima informasi tentang pengobatan, tapi kupikir lebih baik orangtuanya saja.

“Tadi ada Abi, tapi nggak tahu tiba-tiba nggak ada,” jawab Kakak tertua. Kusamarkan menjadi Bima. Kakak kedua bernama Arya.

“Baiklah. Perkenalkan, nama saya Maya, apoteker yang bertugas di ruang ICU. Saya izin meminta waktunya sebentar untuk melakukan edukasi tentang obat ya…,” kuawali dengan perkenalan seperti biasanya.

Ketika membaca secara lengkap DRM pasien, mulai dari asesmen triase, asesmen dokter IGD, hingga asesmen DPJP yaitu spesialis bedah anak, kudapatkan informasi bahwa pasien mengeluh nyeri perut sejak seminggu yang lalu, telah mendapatkan pengobatan di klinik pondok pesantren tempatnya menuntut ilmu. Keluhan tidak membaik, bahkan perut semakin membesar disertai diare, muntah, dan demam selama beberapa hari tersebut.

“Apakah sekarang membawa obat dari klinik pondok tersebut?” kuajukan pertanyaan untuk menggali Riwayat Penggunaan Obat (RPO).

“Enggak. Sudah habis,” jawab Arya.

“Mungkin masih mengingat nama obat-obatannya?” kukejar dengan pertanyaan tambahan.

“Lupa, Bu. Ada obat antibiotik sama buat lambung,” jawab Bima.

“Dokter di klinik bilang apa tentang sakitnya Reyhan?” kuajukan pertanyaan sekali lagi, memastikan.

“Sakit infeksi usus kalau nggak salah.” Bima menjawab kembali

Aku mencatat semua informasi yang kuterima di lembar Pemantauan Terapi Obat (PTO). Setelah kupastikan semua data telah terpenuhi, kuputuskan untuk menyudahi sesi KIE tersebut, lalu kembali ke ruang ICU.

***

Jadwalku berkeliling ruangan rawat inap telah usai. Harusnya aku pindah ke ruang rekonstitusi sediaan steril untuk melakukan penyiapan obat injeksi intravena. Saat menuju ruang tersebut, aku berpapasan dengan dua perawat ICU yang tengah terburu-buru mendorong bed pasien ICU nomer 1: Devan!

“Kak, cito?” tanyaku singkat. Tidak berharap dijawab, tapi ternyata perawat Lulu sempat menjawab pertanyaanku.

“Iya, operasi ulang, cito!” Jawabnya.

Aku tak berani lagi mengutarakan seribu tanda tanya di kepalaku. Untuk nakes, kata “cito” atau “segera” adalah hal keramat. Aku hanya berdoa, semoga kedua adik kecil itu segera melewati masa kritisnya.

***

Hari berikutnya, aktivitasku masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Namun kali ini jiwa melankolisku agak dominan. Betapa tidak, bed 1 telah kosong! Ke mana Devan? Apakah operasinya berhasil?

Setelah menyapa perawat ICU yang tengah bertugas pagi itu, aku kembali menyuarakan tanda tanya di kepalaku.

“Bed 1 ke mana, Kak? tanyaku. Saat itu ada Perawat Nana yang tengah mengisi lembar observasi pasien.

“Meninggal, Kak. Tadi pagi sekitar jam 1 dini hari. Beberapa jam setelah selesai dari kamar operasi,” jawabnya sembari membuat grafik TTV.

“Innalillahi wainna ilahi rojiun…”

“Kondisinya memang sudah drop sejak post op yang pertama. Di bandingkan bed 6, dia memang lebih mengkhawatirkan. Masuk rumah sakit dengan kondisi yang sudah sangat telat. Severe sepsis dengan banyak kompikasi kerusakan organ.” Perawat Nana memandang ke arah bed 1 yang kosong, mungkin juga sama sedihnya denganku.

“Na, laporin DPJP bed 6 penurunan kesadaran. Ada rembesan di lukanya…” Aku tidak mendengarkan lagi kelanjutan kalimat itu. Perawat Jeje tiba-tiba muncul dengan komando yang mengagetkan.

Perawat Nana segera berkoordinasi dengan Perawat Jeje untuk melaporkan kondisi pasien bed 6. Mereka banyak berbicara dengan istilah keperawatan. Yang teringat pada memoriku, saat itu, beberapa perawat sibuk membersihkan rembesan pada luka, sambil menunggu instruksi lebih lanjut dari DPJP.

***

Jika kamu seorang nakes, entah itu dari bidang pelayanan medis maupun dari bidang penunjang medis, kamu akan terbiasa dengan jam istirahat yang terbatas. Kami sering menyempatkan diri untuk istirahat secara bergantian, sekedar makan dan sholat beberapa menit.

Di masjid RS, saat jam istirahat, aku seperti dejavu saat menyaksikan sebuah pemandangan yang amat meny entuh. Ungkapan tembok rumah sakit lebih banyak mendengar orang berdoa dengan tulus ternyata benar adanya. Menghadap kiblat, seorang bapak tengah bersimpuh sendirian, menengadah, mengangkat tangan, berdoa dengan sepenuh hatinya. Sepertinya aku tidak asing dengan sosok yang samar-samar terlihat dari balik hijab pembatas shaf laki-laki dan shaf perempuan tersebut. Ayahnya Reyhan kah?

Samar-samar, terdengar suara bapak tersebut yang lirih namun penuh keyakinan. Bahwa kesembuhan adalah mutlak milik Sang Pencipta.

“Ya Allah, Yang Maha Menyembuhkan. Jadikan kesembuhan putra hamba adalah sebuah keajaiban dan wujud dari Kun Fayakun-Mu…” terdengar suara helaan napas panjang.

Allahumma rabban nas, adzhibil ba’sa, isyfi anta asy-syafi, laa syifa’a illa syifa’uka, syifa’an laa yughadiru saqaman..”

Selanjutnya, yang terdengar hanya isakan. Aku tak sanggup lagi mendengarkan kepiluan itu.

***

Hari berikutnya, aku kesiangan memasuki ruang ICU karena harus menghadiri rapat PPRA terlebih dahulu sebelum memulai pelayanan farmasi klinis. Betapa irama jantungku mendadak meningkat, menyaksikan bed 6 terpasang intubasi. Oh, Reyhan? Apakah kamu baik-baik saja?

Seperti mengerti apa yang kupikirkan, tanpa kuminta, perawat Lulu menceritakan apa yang terjadi kemarin.

“Aku juga nggak nyangka, kejadiannya sama persis seperti Bed 1. Tiba-tiba terjadi perburukan dan harus dilakukan operasi cito sore itu juga. Bed 6 kembali ke ICU dini hari tadi. Jam 6 dokter anestesi visite, advice intubasi detik itu juga. Dan yaaa.. saat kamu datang ke sini, dia sudah intubasi dan undersedasi,” jelas Perawat Lulu.

“Apa ada rencana rujuk ke RS tipe B atau A?” tanyaku. Mengingat RS tempat ku bekerja saat itu adalah RS tipe C. Sekilas pemikiranku sebagai tenaga penunjang medis, apakah Reyhan bisa mendapatkan perawatan di RS lain yang fasilitasnya lebih lengkap?

“Ada, kita masih usaha mencari rujukan ke RS tipe A di Malang. Advice DPJP memang rencana rujuk.” Penjelasan dari Perawat Lulu cukup mengobati kekhawatiranku.

Kulanjutkan pekerjaanku seperti biasa, hingga tibalah saat visite dari bed 1 ke be6, mengamati kondisi klinis pasien dan segala obat-obatan yang terpasang di tiang infus. Bed 6, Reyhan, adik kecil yang selalu menatapku dengan tatapan kosong itu kini sedang dalam pengaruh obat bius midazolam. Selang ETT panjang menjulur dari alat ventilator hingga tenggorokannya. Berjuanglah, Reyhan!

Allahumma rabban nas, adzhibil ba’sa, isyfi anta asy-syafi, laa syifa’a illa syifa’uka, syifa’an laa yughadiru saqaman..”

***

Keesokan harinya, aku kembali dikejutkan oleh kosongnya bed 6. Kemana lagi Reyhan? Saat itu, semua perawat ICU sedang melakukan tindakan. Tidak ada perawat Lulu yang tiba-tiba datang menjelaskan seperti kemarin.

Jantungku kembali meloncat tak karuan saat melihat Dokumen Rekam Medis (DRM) Reyhan tergeletak di meja dengan form KRS (Keluar Rumah Sakit) di depannya. Please, jangan sampai Reyhan menyusul Devan! Please… Tanpa ragu, aku meraih DRM Reyhan dan segera membacanya.

Pasien rujuk ke RSSA Malang pukul 06.30 WIB. Ya Allah, syukurlah dia masih bertahan!

Dua minggu setelahnya, kabar terbaru Reyhan berhasil kudapatkan dari perawat ICU yang menyimpan kontak nomer ayah Reyhan. Beliau membagikan momen saat Reyhan tengah menjalani masa pemulihannya. Dia dan ayahnya terlihat lebih bersemangat dan berseri-seri. Rasa lega menjalar ke seluruh pembuluh darahku. Meskipun mereka bukan keluargaku, tapi mereka telah mengajarkanku sebuah pelajaran hidup yang berarti.

Pertanyaan itu, “Kakak, apa aku bisa sembuh?”, menjadi analogi yang kusimpan dengan rapi di amygdala. Betapapun berat ujian hidup itu, kita cuma punya 2 jalan yang harus ditempuh : sabar dan ikhlas. Sepanjang dan seberat apapun medan jalan itu, saat kita melibatkan Allah dalam setiap harapan, segala sesuatu yang mustahil bisa menjadi mungkin.

***

Note : semua nama yang terlibat telah disamarkan.

Share your love
apt. Maya Firdausi, S.Farm
apt. Maya Firdausi, S.Farm

I'm a clinical and community pharmacist. I love writing!

Articles: 27

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *